Desa Saenam, yang terletak di Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), memiliki kisah panjang yang terkait dengan peran penting wilayah ini dalam sejarah pemerintahan pada zaman kerajaan. Desa Saenam pada awalnya merupakan bagian dari wilayah Kefetoran Aplal, sebuah wilayah yang memiliki peran penting dalam struktur pemerintahan tradisional yang ada di daerah tersebut.
Pada masa kerajaan, kefetoran Aplal mengelola sejumlah tamukung (kepala wilayah adat), yang bertugas sebagai pemimpin di masing-masing wilayah mereka. Kefetoran Aplal membawahi sebelas tamukung, dengan wilayah yang luas dan meliputi sejumlah desa yang kini ada di sekitar Kecamatan Miomaffo Barat. Salah satu tamukung yang paling dikenal dalam sejarah Desa Saenam adalah Tamukung Baok Taub. Ia adalah kepala wilayah Tamukung Leolkase yang terkenal karena membela rakyatnya dari ancaman PKI pada tahun 1965. Tindakan keberpihakan Baok Taub pada masyarakat, serta upayanya dalam mempertahankan keamanan dan keselamatan wilayah Tamukung Leolkase, menjadi momen penting dalam sejarah desa ini.
Pada tahun 1969, untuk mempermudah pelayanan masyarakat, wilayah Tamukung Leolkase kemudian mengalami perubahan administrasi menjadi desa yang lebih terstruktur, yaitu Desa Gaya Baru. Desa ini dibentuk dengan tujuan untuk lebih dekat dengan masyarakat dan memperbaiki tata kelola pemerintahan desa. Salah satu tokoh yang berperan dalam pembentukan Desa Gaya Baru adalah Adrianus Fai, yang dipercaya menjadi kepala desa pertama. Desa ini juga mengakomodir suku Faimnasi yang sebelumnya mungkin lebih terpisah atau tidak terwakili dengan baik dalam pemerintahan sebelumnya.
Nama Desa Saenam sendiri berawal dari sejarah adat dan budaya yang ada di wilayah tersebut. Tamukung besar, yaitu Tamukung Leolkase dan Tamukung Konfai, bersepakat untuk membentuk sebuah desa yang menggabungkan wilayah mereka dan memberi nama desa tersebut Saenam. Nama “Saenam” diambil dari sebuah bukit yang terletak di desa tersebut, yang dikenal dengan nama Bukit Saenam. Dalam bahasa lokal, “Saenam” memiliki arti “merayap”, yang menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat di desa ini bergerak maju, meskipun dengan langkah-langkah yang lambat dan penuh perjuangan.
Pada masa itu, kehidupan di Desa Saenam sangat erat kaitannya dengan tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan oleh para leluhur mereka. Masyarakat Desa Saenam dikenal memiliki ikatan yang kuat dengan alam, terutama dengan hutan dan gunung yang mengelilingi desa mereka. Selain itu, mereka juga memiliki sistem sosial yang terorganisir dengan baik, dengan kehadiran tamukung yang berfungsi sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana dalam memimpin wilayahnya.
Secara administratif, desa ini berkembang menjadi bagian integral dari sistem pemerintahan yang lebih besar di Kabupaten TTU. Namun, meskipun telah berkembang menjadi desa yang lebih formal dan terstruktur, nilai-nilai tradisional dan budaya masyarakat Saenam tetap dijaga dan dihormati hingga hari ini. Keberadaan desa ini sebagai pusat pelayanan masyarakat, dengan berlandaskan pada semangat kebersamaan dan gotong-royong, terus menjadi pondasi penting bagi masyarakatnya.
Secara keseluruhan, sejarah Desa Saenam mencerminkan perjuangan panjang masyarakatnya dalam mempertahankan keberadaan, identitas, dan tradisi mereka. Dari masa kerajaan hingga saat ini, desa ini tetap menjadi simbol kekuatan komunitas lokal dalam menjaga nilai-nilai kebersamaan dan kearifan lokal yang tetap relevan di tengah perkembangan zaman.
Berikut beberapa budaya ritual adat Di Desa Saenam
Ritual adat penerimaan pendatang baru Di Desa Saenam




Ritual adat potong ayam, serahkan sopi, dan bakar lilin untuk penjemputan orang baru Di Desa Saenam merupakan bagian dari tradisi wajib yang dilakukan saat penerimaan pendatang baru. Ritual ini dilakukan sebagai tanda penyambutan dan penghormatan terhadap orang baru yang datang ke Desa, baik itu pendatang baru, tamu kehormatan, atau anggota Keluarga yang baru pulang dari perantauan.
Berikut adalah penjelasan mengenai tiap bagian ritual tersebut:
Potong Ayam: Potong ayam adalah simbol penyucian dan permohonan doa agar kedatangan orang baru membawa keberkahan, kesejahteraan, dan keselamatan bagi seluruh masyarakat desa. Ayam biasanya dipilih karena dianggap sebagai hewan yang memiliki makna spiritual, baik sebagai simbol pengorbanan atau sebagai perantara antara dunia manusia dengan Dunia Roh.
Serahkan Sopi: Sopi adalah minuman tradisional yang terbuat dari fermentasi nira pohon kelapa atau lontar. Dalam banyak tradisi di NTT dan sekitarnya, sopi dianggap sebagai minuman yang memiliki nilai sakral dan digunakan dalam berbagai upacara adat. Menyerahkan sopi kepada orang baru dalam ritual ini merupakan tanda penyambutan yang penuh kehormatan dan kehangatan, sekaligus sebagai simbol pemberian restu dari masyarakat.
Bakar Lilin: Lilin yang dibakar dalam upacara ini memiliki makna sebagai simbol cahaya yang akan menerangi jalan hidup orang baru yang datang. Lilin juga sering dianggap sebagai simbol spiritualitas yang membawa harapan dan doa bagi orang yang datang, agar selalu diberkahi dan dilindungi oleh roh leluhur serta Tuhan.
Secara keseluruhan, ritual ini mencerminkan rasa hormat, solidaritas, dan keterikatan komunitas pada tradisi leluhur. Selain itu, ini juga merupakan bentuk penyambutan yang penuh makna, baik bagi orang yang datang maupun bagi masyarakat Desa yang mengadakan upacara.
Acara adat Heleketa


Hela Keta adalah ritual adat perkawinan masyarakat etnis Timor yang dilakukan sebagai pemurnian sebelum menikah. Tradisi ini dilakukan apabila ada perselisihan antara dua belah pihak pada masa lampau.
1.Makna Hela Keta
A. Membersihkan atau menyucikan dari sumpah serapah nenek moyang yang berperang pada zaman dahulu.
B. Memurnian dari kesalahan masa lalu
C. Memperbaiki dan menyatukan kedua keluarga besar suku
2.Pelaksanaan Hela Keta
A. Hela Keta dilakukan dalam rangkaian prosesi adat pernikahan
B.Jika ada perkawinan antara dua suku yang pernah berperang, maka harus ada ‘hel keta’
C.Sebelum melakukan ‘hel keta’, ketua adat atau ketua suku harus menelusuri apakah antara kedua suku pernah ada permusuhan atau perang
D.Jika ditelusuri secara adat ditemukan bahwa memang benar pernah ada perang suku, maka harus dibuat upacara hel keta.Hela Keta merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat etnis Timor.
Ritual Panen jagung



Ritual makan jagung merupakan tradisi adat yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen jagung.
Dalam ritual ini, kepala suku menyembelih ayam dan jagung muda direbus untuk dipersembahkan kepada para leluhur.
Saat siap panen, maka kita harus memberitahu para leluhur dan memberikan masing-masing dari hasil kebun kepada Leluhur Laki-laki di Hau Monef atau Kayu Tuhan (potongan kayu bercabang tiga dengan ketinggian berbeda sebagai simbol Bapa, Putra, dan Roh Kudus), sementara untuk Leluhur Perempuan berada di dalam rumah berupa “Tatakan Batu” tempat membakar lilin dan menyuguhkan persembahan hasil kebun,”
Nah, saat panen Jagung hasil kebun, lalu diikat sebanyak 7 (tujuh) tongkol dalam satu rumpun atau disebut ‘Pentauf’ (sebagai simbol 7 hari dalam seminggu) dan diikat sebanyak 10 tongkol Jagung atau disebut Siap untuk digantung di Lopo dan dijadikan bibit, kemudian dimasukkan ke Uim Bubu.
Tarian Gong Suku Dawan



Tarian Gong Suku Dawan simbol Kejantanan dan Kebanggaan Masyarakat Timor Tengah Utara. Tarian gong merupakan salah satu warisan budaya yang sangat berharga. Tarian ini tidak hanya sekadar tarian, tetapi juga mengandung makna yang sangat dalam bagi masyarakat setempat.
· Makna Filosofis Tarian Gong
Tarian gong bagi masyarakat suku Dawan melambangkan kewibawaan, ketangguhan, keberanian, dan kejantanan seorang laki-laki. Gerakan-gerakan dinamis dan penuh semangat yang ditampilkan oleh penari menggambarkan kekuatan dan semangat juang yang tinggi. Selain itu, iringan musik gong yang khas juga menambah kesan gagah dan berwibawa pada tarian ini.
– Fungsi Tarian Gong dalam Masyarakat
Tarian gong umumnya ditampilkan dalam berbagai acara, baik acara adat maupun sebagai tarian penyambutan tamu. Beberapa fungsi tarian gong antara lain : Acara adat: Tarian gong seringkali menjadi bagian dari upacara adat, seperti perkawinan, kematian, atau upacara panen. Penyambutan tamu: Tarian gong juga digunakan untuk menyambut tamu agung atau tamu penting sebagai bentuk penghormatan. Hiburan: Selain fungsi-fungsi di atas, tarian gong juga seringkali ditampilkan sebagai hiburan dalam berbagai acara, seperti festival budaya atau perayaan hari besar.